Jakarta, – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Bintang Puspayoga, menegaskan bahwa perempuan di parlemen adalah kunci dalam melahirkan kebijakan-kebijakan yang pro perempuan. Keberhasilan dalam mengesahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan berbagai kebijakan pro perempuan lainnya merupakan bukti nyata dari kerja keras perempuan, khususnya di parlemen.
“Perempuan merupakan individu dengan kepekaan emosional tinggi. Karena itu, dampak keterlibatan perempuan dalam politik mampu membangun pendekatan-pendekatan kebijakan yang lebih humanistik. Sehingga melibatkan perempuan dalam politik merupakan investasi untuk mengawal masa depan bangsa,” ujarnya dalam Dialog Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) yang mengangkat tema ‘Dukung Perempuan dalam Pemilu 2024’, Rabu (7/2) Dari Siaran Pers Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik, Kemenkominfo.
Menanggapi hal tersebut, Staf Khusus Menteri PPPA, I Gusti Agung Putri Astrid, menegaskan Kementerian PPPA telah memproyeksikan kegiatan-kegiatan sejak 2020 untuk bisa menciptakan kondisi yang memungkinkan keterwakilan perempuan di parlemen meningkat. Salah satu kegiatan tersebut adalah memberikan bimbingan teknis kepemimpinan perempuan di perdesaan, khususnya bagi perempuan-perempuan yang menjadi kepala desa.
“Kami dorong perempuan-perempuan kepala desa ke tingkat nasional, agar mereka bisa menjadi calon legislatif yang potensial dan berkualitas,” ujarnya.
Agung Putri mengakui salah satu tantangan yang dihadapi oleh perempuan dalam berpolitik adalah akses ke partai politik (parpol). Parpol merupakan pintu masuk bagi perempuan untuk menjadi calon legislatif dan mendapatkan kursi di parlemen sehingga bisa terlibat dalam perumusan kebijakan yang pro terhadap perempuan dan anak.
Namun, tak dapat dipungkiri parpol hingga hari ini masih didominasi oleh kader laki-laki dan belum sepenuhnya mendukung keterwakilan perempuan. Oleh karena itu, KPPPA terus berdialog dan membangun jaringan dengan parpol lewat badan pemenangan pemilu parpol hingga sayap-sayap perempuan parpol.
Tujuannya membangun jaringan itu untuk mendorong parpol mengimplementasikan sistem “zebra” dalam penjaringan dan penempatan calon legislatif, yaitu sistem yang mengharuskan satu calon laki-laki diikuti oleh satu calon perempuan secara bergantian.
“Kami juga memberikan masukan dan saran kepada parpol untuk membuat kebijakan-kebijakan yang pro perempuan. Baik dalam internal parpol maupun dalam program-program legislasi. Kami berharap parpol dapat menjadi mitra strategis kami dalam mewujudkan kesetaraan gender di bidang politik,” tuturnya.
Asisten Deputi Pengarusutamaan Gender Bidang Politik dan Hukum, Iip Ilham Firman menambahkan, angka 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen yang diamanatkan oleh UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Hal tersebut masih merupakan angka minimal. Bahkan saat ini, keterwakilan perempuan di parlemen periode 2019-2024 hanya 20,87 persen, dan target realistis untuk Pemilu 2024 adalah 22,5 persen.
“Kalau kita lihat jumlah pemilih dari data KPU lebih banyak perempuan, hampir 51 persen. Tetapi saat ini ada keberpihakan dari pemilih untuk tidak memilih perempuan, padahal perempuan lebih humanis dan detail,” katanya.
Iip juga menyebutkan beberapa tantangan yang dihadapi oleh perempuan dalam arena politik. Seperti sistem pemilihan yang berbeda dengan negara-negara ASEAN lainnya, kaderisasi di partai politik yang belum merata, biaya politik yang tinggi, serta faktor kekerabatan dan popularitas.
Maka dari itu, Iip menambahkan, di samping pelatihan kepemimpinan untuk perempuan, pemerintah diharapkan dapat mempertegas alokasi dana hibah untuk partai politik agar sebagian anggarannya bisa digunakan untuk isu perempuan.
“Ke depan, kita mengetahui pemerintah memberikan bantuan ke parpol, tetapi pengaturannya belum ada. Kami KPPA akan bekerja sama dengan Kemenko PMK mengadakan pembicaraan. Agar ada bagian dari bantuan itu untuk perempuan,” pungkasnya.